
Warisan Leluhur yang Tetap Hidup di Tanah Karangasem
Di tengah modernisasi yang kian pesat, Desa Seraya di Kabupaten Karangasem masih teguh mempertahankan salah satu tradisi tertuanya — Gebug Ende.
Tradisi ini bukan sekadar pertunjukan fisik, melainkan ritual sakral yang sarat makna spiritual dan sejarah panjang masyarakat Bali timur.
Dilaksanakan di Pura Puseh Desa Seraya pada 12 Oktober 2025, Gebug Ende menjadi momen penting bagi warga untuk menghaturkan rasa syukur sekaligus memohon turunnya hujan dan kesejahteraan bagi desa.
Makna dan Filosofi di Balik Tradisi Gebug Ende
Secara harfiah, “Gebug” berarti pukul dan “Ende” berarti perisai.
Dua orang peserta akan saling berhadapan menggunakan rotan sebagai senjata dan tameng sebagai pelindung. Namun, di balik aksi yang tampak keras ini, tersimpan filosofi mendalam tentang keberanian, ketangguhan, dan keseimbangan hidup.
Tradisi ini juga menjadi simbol semangat gotong royong dan persaudaraan, karena meskipun terlihat seperti pertarungan, Gebug Ende selalu dilakukan dengan niat suci tanpa dendam atau kebencian.
Daya Tarik Budaya yang Memikat Wisatawan
Selain menjadi ritual adat, Gebug Ende kini juga menjadi daya tarik budaya yang memikat wisatawan lokal maupun mancanegara.
Suara sorak masyarakat, dentuman gamelan, serta semangat para peserta menciptakan suasana yang menggugah adrenalin sekaligus menggetarkan hati.
Tradisi ini menunjukkan bagaimana Bali mampu menjaga warisan leluhur tanpa kehilangan makna spiritualnya, bahkan di tengah arus pariwisata modern.
📍 Lokasi: Pura Puseh, Desa Seraya, Kabupaten Karangasem
🗓️ Tanggal: 12 Oktober 2025
💬 Pernah menyaksikan Gebug Ende secara langsung? Bagikan pengalamanmu di kolom komentar!
📲 Ikuti terus @balikami untuk mengenal lebih dalam tradisi dan budaya asli Bali.