
Dalam dunia kerja yang serba cepat, ada satu fenomena yang hampir semua orang pernah alami: kerjaan yang tak kunjung selesai.
Dari luar, mungkin terlihat sederhana — seseorang duduk di depan layar, mengetik, berpindah jendela, lalu mengetik lagi. Tapi di balik itu, ada dinamika mental, tekanan waktu, dan tumpukan tanggung jawab yang terasa semakin berat dari hari ke hari.
Ritme yang Tak Pernah Usai
Hari dimulai dengan niat baik. Kopi panas di meja, daftar tugas sudah disusun rapi. Namun seiring waktu berjalan, notifikasi masuk, revisi datang, dan prioritas mendadak berubah.
Apa yang semula tampak sederhana, perlahan menjadi rantai panjang pekerjaan tanpa ujung.
Begitulah ritme kerja modern — cepat, dinamis, tapi sering kali melelahkan secara emosional. Setiap target yang tercapai, hampir selalu diikuti target baru yang harus diselesaikan lebih cepat, lebih baik, dan lebih sempurna.
Antara Produktivitas dan Kelelahan
Fenomena “kerjaan yang gak kelar-kelar” bukan hanya tentang banyaknya tugas, tapi juga tentang cara manusia beradaptasi dengan ekspektasi yang terus meningkat.
Teknologi membuat kita bisa bekerja di mana saja, tapi juga membuat batas antara waktu kerja dan waktu istirahat semakin kabur.
Dalam diam, banyak orang berjuang menyeimbangkan antara keinginan untuk produktif dan kebutuhan untuk berhenti sejenak.
Sebuah Cermin dari Dunia Modern
Fenomena ini menjadi potret dari era digital — ketika semua serba terhubung, serba cepat, dan serba dituntut selesai. Namun di balik layar, ada manusia yang mencoba bertahan, menyelesaikan satu demi satu tugas, sambil berharap ada waktu untuk benar-benar berhenti sejenak.
“POV: kerjaan yang gak kelar-kelar” bukan hanya tentang pekerjaan yang menumpuk, tapi juga tentang bagaimana kita belajar menerima bahwa tidak semua hal harus selesai hari ini.
@studiokamimandiri Gas terus pokoknya selama belum tumbang😭😵💫 #studiokami #studiokamimandiri #webdevelopment ♬ original sound – Studio Kami